Catatan Perjalanan :
Dari New
Orleans Ke Kendal
5.
Jika Harus Menilpun Tapi Entah Kepada Siapa
Senin sore, 14
Pebruari 2000, sekitar jam 15:45 saya sudah berada di ruang
kedatangan bandar udara Narita, Tokyo. Dari sinilah, rupanya
serangkaian upaya yang sangat melelahkan di sepanjang perjalanan
saya dari New Orleans ke Kendal akan saya mulai.
Menurut tiketnya,
saya akan bermalam di Tokyo menunggu perjalanan sambungan menuju
Jakarta esok harinya dengan Japan Airlines (JL), karena rute
inilah yang akhirnya saya dapatkan saat pesan tiket di New
Orleans. Oleh karena itu bagasi saya harus diambil di Tokyo.
Untuk mengambil bagasi, saya harus keluar dari bandara melewati
imigrasi, dan untuk melewati imigrasi saya ditanya tentang visa
kunjungan ke Jepang.
Karena saya hanya
akan overnight menunggu penerbangan sambungan esok
harinya, maka diperlukan shore pass. Sedangkan untuk
memperoleh shore pass saya mesti menghubungi dan meminta
kepada petugas American Airlines (AA), yaitu perusahaan
penerbangan yang mengatur perjalanan saya dari Amerika.
Petugas imigrasi
bandara Narita lalu menunjukkan agar saya menuju counter
AA. Saya pun segera mundur dari gerbang imigrasi, dan menuju counter
AA yang dimaksud. Ternyata di sana tidak ada siapa-siapa, bahkan
nyaris tidak ada tanda-tanda bahwa di situ tempat meminta shore
pass. Saya pun celingukan, berjalan kesana-kemari, kesal,
sambil jelalatan barangkali ada petunjuk arah. Karena tidak
menemukan apa-apa dan siapa-siapa di counter yang
ditunjukkan tadi., saya lalu berhenti dan bersandar di sebuah
meja setinggi dada (dalam hati saya mereka-reka, orang Jepang ini
umumnya pendek tapi meja counter-nya kok tidak lazim
tingginya).
Eh, lha kok
ternyata di atas meja itu ada tempelan kertas bertuliskan
kira-kira bunyinya adalah : jika Anda perlu bantuan untuk
mendapatkan shore pass, silahkan hubungi nomor-nomor di
bawah ini
.. Lalu tertulis berderet nama perusahaan
penerbangan beserta nomor-nomor tilpun.
Saya temukan
nomor tilpun untuk pesawat AA, ternyata nomor tilpun yang aslinya
dicetak dengan komputer sudah dicoret dan diganti dengan tulisan
tangan. Dan itupun sudah juga dicoret lagi, diganti dengan
tulisan tangan yang lebih jelek, dan nulisnya miring lagi. Di
balik meja tinggi itu ada sebuah pesawat tilpun dan komputer
kuno yang sepertinya tidak pernah dipakai. Tampak
kusam dan sudah tidak cerah lagi warnanya.
Sejenak saya
tolah-toleh, sekedar untuk meyakinkan bahwa di situ memang tidak
ada siapa-siapa, selain ada seorang ibu muda yang juga penumpang
pesawat yang sedang sama bingungnya dengan saya. Lalu saya
beranikan diri mengangkat gagang tilpun, ambil nafas sejenak,
lalu menekan sebuah nomor yang tertulis jelek itu. Entah mau
nyambung kemana atau siapa, yang penting tilpun. Dalam hati saya
berharap, mudah-mudahan nomornya tidak salah, tidak salah sambung
dan tidak dijawab oleh mesin otomatis. Berhasil..
!
Ternyata memang
langsung nyambung ke kantor perwakilan AA, entah kantornya ada di
mana. Belum sempat saya mengutarakan maksud saya menilpun, dengan
cepat ditimpali oleh pembicara di seberang sana dan saya diminta
menunggu sebentar, karena petugas AA akan segera datang (dalam
hati saya berharap mudah-mudahan yang menjawab tadi bukan jin
Tomang yang suka menterjemahkan kata-kata sebentar
berarti bisa sampai satu jam).
Seperti tahu
kekhawatiran saya, dua orang petugas AA yang nampak jelas mereka
orang Jepang, memang membuktikan pesannya tadi. Belum lima
menit
., sudah sampai ke meja tempat saya menilpun tadi. Lho,
kok tahu kalau saya menilpun dari situ?
Agaknya mereka
lari, nafasnya masih ngos-ngosan, karena itu saya tidak tega
untuk langsung mencecar dengan pertanyaan. Tapi sepertinya mereka
sudah paham apa yang saya butuhkan, barangkali memang itu tugas
rutinnya, sehingga malah mereka yang mendahului mengajukan
pertanyaan beruntun, antara lain saya datang dengan pesawat nomor
berapa, penerbangan lanjutannya dengan pesawat apa, nomor berapa,
kapan, dsb. Tiba-tiba saya merasa menjadi tidak sendirian di
Narita, tidak sebagaimana saat kebingungan tadi.- (Bersambung)
Yusuf Iskandar